Pohon Keruing.
Keruing atau
Dipterocarpus adalah marga pepohonan penghasil kayu pertukangan yang berasal dari keluarga Dipterocarpaceae. Marga ini memiliki sekitar 70 spesies yang menyebar terutama di Asia Tenggara; mulai dari India dan Srilanka di barat, melalui Burma, Indocina dan Cina bagian selatan, Thailand, hingga ke kawasan Malesia bagian barat. Di wilayah Malesia, keruing tersebar di hutan-hutan Semenanjung Malaya, Sumatra, Kalimantan, Filipina, Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa. Jadi umumnya tidak melewati garis Wallace, kecuali yang ditemukan di Lombok dan Sumbawa.
Tumbuhan ini merupakan komponen yang penting dari hutan dipterokarpa. Nama ilmiahnya berasal dari bahasa Yunani yang berarti buah yang bersayap dua (
di: dua;
pteron: sayap;
karpos: buah).
Keruing umumnya berupa pohon sedang sampai besar, dengan ketinggian tajuk mencapai 65m dan batang lurus, bulat gilig, gemangnya sering lebih dari 150cm hingga 260cm. Batang dan ranting mengeluarkan resin apabila dilukai, kadang-kadang amat berlimpah.
Ranting-ranting berambut, kasar atau halus, dengan bekas melekatnya daun penumpu yang tampak jelas. Daun-daun berseling, tunggal, seperti jangat,
sangat bervariasi dalam ukuran, dengan urat daun sekunder menyirip
lurus jelas terlihat di sisi bawah daun. Helaian daun menggelombang dan
melipat di antara urat daun sekunder. Daun penumpu besar, lebar, sedikit
menebal, lekas gugur.
Perbungaan tunggal atau dalam tandan pendek yang bercabang. Bunga
besar, aktinomorf, berkelamin 2; daun kelopak 5 helai, tidak gugur,
menyatu menjadi tabung yang membungkus bakal buah, dua taju di antaranya
panjang atau semuanya pendek.
Buah geluk
berukuran besar, terbungkus kelopak, sering dengan pelebaran tabung
kelopak serupa sayap sempit atau gigir membujur di sisi luar, lima buah.
Taju atau cuping kelopak di ujung buah membentuk dua sayap yang besar
dan tiga taju kecil serupa telinga, atau lima taju kecil-kecil.
Keruing tumbuh dalam hutan perawan (primer)
pada pelbagai habitat dari permukaan laut hingga ketinggian 1.500 m
dpl. Sebagian besar jenisnya tumbuh tersebar, akan tetapi beberapa
spesiesnya kerap ditemukan berkelompok atau hidup pada habitat yang
khas. Misalnya
D. oblongifolius di tepi sungai yang berarus deras,
D. elongatus di tanah endapan tepi sungai,
D. borneensis di tanah gambut di atas pasir putih,
D. gracilis di wilayah beriklim musim, dan beberapa jenis lain yang berspesialisasi tumbuh di punggung-punggung bukit.
Seperti halnya meranti,
keruing juga mengalami musim perbungaan raya. Pada musim-musim itu,
yang berlangsung beberapa tahun sekali, pohon-pohon keruing berbunga dan
berbuah banyak sekali. Masa berbunga berlangsung beberapa hari saja,
dan tiga sampai lima bulan kemudian buahnya telah masak. Buahnya tidak
memiliki masa dormansi
dan berkecambah di tanah tak lama setelah jatuh dari pohon. Bahkan pada
waktu cuaca basah sekali, adakalanya buah berkecambah tatkala masih
menempel di rantingnya.
Semai
keruing membutuhkan naungan untuk pertumbuhannya, akan tetapi masih
cukup terang oleh sinar matahari yang masuk. Kondisi yang optimal bagi
pertumbuhan berbeda-beda untuk setiap jenisnya, tetapi berkisar pada
naungan 40 – 70%.
Marga ini juga penting untuk produksi kayunya, walaupun tidak sepenting Shorea.
Keruing menghasilkan kayu bangunan umum, baik untuk konstruksi menengah
maupun berat. Hampir semua jenis kayu keruing mempunyai struktur,
warna, kekuatan dan keawetan yang serupa.
Oleh sebab itu, semuanya digolongkan ke dalam kelompok kayu perdagangan
yang sama, yakni keruing. Meskipun demikian, karena variasi yang tinggi
dalam kerapatan kayunya, kadang-kadang keruing dibedakan lagi atas subkelompok keruing ringan, menengah-berat, dan berat.
Kayu keruing berkisar dari ringan (BJ
0,51) sampai dengan berat sekali (BJ 1,01), dengan sifat kayu yang agak
keras hingga keras. Kayu keruing termasuk kuat (kelas kuat I-II) dan
cukup awet (kelas awet III).
Jika tidak diawetkan, kayu ini kurang tahan untuk pemakaian yang
berhubungan dengan tanah, sehingga umumnya digunakan untuk keperluan interior seperti kusen pintu dan jendela, tiang, tangga, dan panel kayu lainnya.
Setelah diawetkan, keruing cocok untuk penggunaan konstruksi berat di
luar ruangan, seperti tiang listrik atau telepon, pilar, pagar,
bantalan rel kereta api, pembuatan kapal, dan dermaga. Pada umumnya kayu
keruing mudah dan cepat menyerap zat pengawet seperti kreosot atau campuran pengawet dasar tembaga kromium-arsen. Keruing yang diawetkan tahan hingga 20 tahun dalam penggunaan.
Kandungan resin dan silika
yang tinggi dalam kayu keruing agak menyulitkan penggergajian. Namun
setelah dikeringkan, kayu keruing mudah dikerjakan dan dibentuk. Keruing
agak sukar dikeringkan karena nilai penyusutannya yang tinggi; dari
keadaan segar ke kering tanur mencapai 7,0% di arah radial dan 13,5% di
arah tangensial. Sehingga apabila tidak hati-hati mengeringkannya, kayu
ini mudah melengkung, pecah atau belah di ujungnya.
Di samping penggunaannya sebagai panel kayu, keruing juga secara luas dimanfaatkan untuk membuat venir dan kayu lapis. Kayu ini juga cukup baik untuk membuat papan partikel, harbor, serta sebagai bahan bubur kayu untuk pembuatan kertas. Secara lokal, kayu keruing juga digunakan untuk membuat arang .
Seperti telah disebutkan, keruing merupakan salah satu jenis terpenting dalam ekspor kayu Asia Tenggara sesudah meranti. Pada tahun 1987 Indonesia mengekspor keruing bercampur kapur (
Dryobalanops
spp.) sebanyak 213 ribu m³ senilai US$ 39 juta, yang meningkat pada
1989 menjadi 463 ribu m³ (lk. US$ 99 juta). Dari jumlah itu, sekitar 82%
adalah kayu keruing.
Minyak dan resin
Semua jenis keruing juga menghasilkan semacam oleoresin yang dikenal sebagai minyak keruing atau minyak lagan;
akan tetapi hanya beberapa jenis saja yang mampu berproduksi dalam
jumlah yang berarti untuk perdagangan. Secara lokal minyak ini digunakan
untuk memakal (mendempul) perahu, sebagai pernis perabotan rumah atau
dinding, serta obat luka atau sakit kulit tertentu. Minyak keruing
banyak diproduksi oleh Thailand, yang pada tahun 1984 menghasilkan
hingga 1,7 juta liter.
Resin yang lebih kental dari keruing dikenal dengan nama umum damar. Untuk memperoleh damar, batang keruing dilubangi hingga mencapai kayu terasnya dan mengeluarkan cairan resin
yang akan berkumpul di sudut-sudut lubang itu, yang dalam beberapa hari
akan mengeras menjadi damar. Setelah gumpalan damar diambil, secara
berkala lubang-lubang itu dibakar untuk merangsang kembali keluarnya
resin. Beberapa jenis yang menghasilkan damar bermutu baik, di antaranya
D. cornutus (
tampudau),
D. crinitus (
tampurau),
D. grandiflorus (
keruing gajah), dan
D. hasseltii (
palahlar)
[2].
sumber
http://id.wikipedia.org/wiki/Keruing