MSG belakangan diklaim sebagai bahan yang aman dikonsumsi. Tapi bukankah
banyak penelitian mengungkap MSG adala pencetus berbagai macam
penyakit? Mana yang benar?
BAGI PARA pelaku hidup sehat, monosodium glutamat (MSG) merupakan salah satu bahan yang dihindari. Alasannya, konsumsi MSG identik sebagai penyebab munculnya macam-macam gangguan kesehatan. Mulai yang sifatnya jangka pendek seperti Chinese Restaurant Syndrome, hingga yang efeknya bersifat jangka panjang seperti obesitas, kerusakan otak dan kanker.
Apa sih sebenarnya MSG itu?
Prof DR Ir Hardinsyah, MS, Ketua Umum Perhimpunan Peminat Gizi (Pergizi) Pangan Indonesia, menyatakan, MSG tidak perlu disikapi secara paranoid. “MSG tersusun dari glutamat, garam, dan air. Glutamat merupakan kelompok asam amino yang juga terdapat pada bahan makanan lain seperti daging, ikan, ayam, keju, susu, terasi, ikan, rumput laut, tomat, dan masih banyak lagi. Glutaman juga terdapat pada ASI, bahkan dengan jumlah yang relatif tinggi. Jika mengonsumsi ASI, sesungguhnya manusia sudah mengenal cita rasa glutamat sejak awal kehidupannya di dunia,” ungkapnya.
Popularitas MSG sebagai penyedap rasa tak bisa dilepaskan dari jasa Kikunao Ikeda, seorang profesor dari Tokyo Imperial University, Jepang. Ia memperhatikan, kaldu katsuobushi dan kombu ala Jepang memiliki rasa yang tidak biasa, dan pada waktu itu belum mampu dideskripsikan. Cita rasa tersebut berbeda dari manis, asin, asam, maupun pahit.
Pada tahun 1908, Ikeda menemukan bahwa kunci kelezatan tersebut terletak pada penggunaan Laminaria japonica, sejenis rumput laut, yang biasa digunakan sebagai bahan masakan. Rumput laut yang kerap disebut kombu itu mengandung asam glutamat, senyawa kimia pencetus cita rasa gurih (umami). Penemuan cita rasa gurih tersebut melengkapi referensi cita rasa indera pengecapan manusia sebelumnya.
Kenapa dikabarkan berbahaya?
Kabar MSG sebagai pencetus munculnya macam-macam keluhan mulai berhembus sejak tahun 1968. Saat itu, Robert Ho Man Kwok, seorang dokter asal New York, Amerika Serikat, menulis surat kepada New England Journal of Medicine, sebuah jurnal kedokteran; Sekitar 15 hingga 20 menit usai menyantap makanan di restoran Chinese, ia selalu mengalami sindrom “aneh” berupa rasa kaku di belakang leher, rasa terbakar di kedua lengan, perasaan lemah, dan sesak napas. Kwok mengusulkan agar kejadian tersebut diteliti secara ilmiah.
Usulan Kwok disambut antusias oleh para ilmuwan. Dari banyaknya faktor yang ada, mereka mulai meneliti keterlibatan MSG dalam masakan Chinese dan efeknya terhadap kesehatan. Salah satu penemuan pertama yang menggegerkan adalah penelitian John W. Olney, yang dipublikasikan dalam jurnal Science, Mei tahun 1969. Dalam penelitiannya tersebut, Olney menemukan bahwa bayi tikus yang diberi MSG dengan dosis 0,5 hingga 4 gram per kilogram berat badan (setara dengan 30 hingga 200 gram per 60 kilogram) mengalami kerusakan otak. Kejadian itu juga disertai obesitas, gangguan perkembangan tulang belakang, juga gangguan reproduksi.
jadi, sebenarnya aman atau enggak sih?
Salah satu praktisi medis yang menentang keras status aman MSG d adalah Russel Blaylock, MD, ahli bedah saraf asal Amerika Serikat. Dalam bukunya yang berjudul Excitotoxins: The Taste that Kills, Blaylock menyebut MSG sebagai zat kimia yang bersifat merangsang dan dapat mematikan sel-sel otak.
Ia mengakui, secara alamiah glutamat memang terkandung dalam berbagai macam bahan makanan. Bahkan, 50 persen glutamat ditemukan dalam jaringan saraf tubuh kita sendiri, di antaranya otak, saraf tulang belakang, dan ganglia perifer. Namun glutamat jenis ini sangat berbeda dengan glutamat yang ada dalam MSG. Glutamat yang dikonsumsi dalam bentuk aslinya merupakan glutamat yang terikat sebagai protein kompleks. Saluran pencernaan akan menyerapnya secara perlahan-lahan, menguraikannya di hati, lalu mengeluarkan jumlah yang tidak diperlukan tubuh melalui limbah tubuh.
Sementara itu, glutamat dalam MSG sudah dihidrolisa menjadi asam amino bebas yang lebih mudah mudah diserap oleh reseptor glutamat. Tubuh kita selalu menjaga agar konsentrasi glutamat dan zat-zat lain selalu berada dalam batas aman dan seimbang. Saat otak mendeteksi ada kehadiran glutamat dalam jumlah yang berlebih, sel-sel otak akan menerjemahkan kondisi tersebut sebagai alarm bahaya. Kelebihan glutamat yang tidak diperlukan akan mereka tumpas dengan menembakkan impuls-impuls saraf dalam kecepatan tinggi. Jika keadaan ini terus terjadi, sel-sel otak rentan mengalami kelelahan dan mati (eksitotoksin).
Berbeda dengan anggapan bahwa otak dilindungi oleh semacam penghalang yang mampu memblokir masuknya kelebihan glutamat, Blaylock mengatakan bahwa reseptor glutamat justru terdapat pada kedua sisi penghalang tersebut. Konsekuensinya, saat terpapar glutamat, penghalang itu akan membuka. Di situlah letak “bahaya” MSG, terutama bagi otak yang sedang mengalami masa perkembangan.
Semua kembali kepada Anda
Ditambah lagi, penggunaan MSG sekarang ini semakin tidak terukur. Penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengungkap bahwa para tukang bakso di Jakarta menuangkan 1,84 -1,9 g per mangkuk,sementara untuk mie goreng dan mie pangsit bahkan hingga 2,78 mg per mangkuk. Sementara di Semarang penggunaan MSG yang diteliti oleh Nina Wiji dari Universitas Diponegoro pada para pedagang bakso, paling banyak mereka menggunakan 10,35 gr pada tiap mangkuk. Padahal, batas aman atau standar pemakaian MSG hanya 2,55 gram per porsi.
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan RI menegaskan, MSG aman dikonsumsi dengan penggunaan secukupnya, yang tertuang dalam Peraturan Menteri kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88 mengenai bahan tambahan makanan. Batasan ini sama dengan penggunaan garam dan gula dalam masakan.
Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.69/1999, Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia melarang tegas penambahan MSG pada makanan pendamping ASI maupun susu formula untuk menghindari risiko gangguan kesehatan yang mungkin timbul.
Jadi, sebenarnya semua kembali kepada Anda.
“Jika memang sensitif atau alergi terhadap MSG, sebaiknya memang tak perlu mengonsumsi. Kalaupun tidak sensitif dan ingin mengonsumsi, juga tak perlu berlebihan. Lagipula, tubuh kita sudah mampu membatasi secara otomatis melalui reseptor pengecapan yang ada di lidah. Kalau jumlah MSG yang ditambahkan sudah berlebihan, rasanya jadi tidak enak,” tutur Hardinsyah.
Sementara Andang Gunawan ND, ahli terapi nutrisi mengatakan, “Kalau mau lebih aman dan minim risiko, pilihan terbaik memang mengonsumsi glutamat dari bahan makanan sesuai wujud aslinya dari alam. Kita bisa mengoptimalkan cita rasa umami dengan menggunakan bahan-bahan yang berkualitas dan cara memasak yang tepat. Dengan demikian, masakan akan tetap lezat, gurihnya tetap nendang, dan kita tidak perlu risau dengan MSG, apapun statusnya,” pungkas Andang.
sumber http://nirmala.co/index.php?option=com_k2&view=item&id=356&Itemid=5
BAGI PARA pelaku hidup sehat, monosodium glutamat (MSG) merupakan salah satu bahan yang dihindari. Alasannya, konsumsi MSG identik sebagai penyebab munculnya macam-macam gangguan kesehatan. Mulai yang sifatnya jangka pendek seperti Chinese Restaurant Syndrome, hingga yang efeknya bersifat jangka panjang seperti obesitas, kerusakan otak dan kanker.
Apa sih sebenarnya MSG itu?
Prof DR Ir Hardinsyah, MS, Ketua Umum Perhimpunan Peminat Gizi (Pergizi) Pangan Indonesia, menyatakan, MSG tidak perlu disikapi secara paranoid. “MSG tersusun dari glutamat, garam, dan air. Glutamat merupakan kelompok asam amino yang juga terdapat pada bahan makanan lain seperti daging, ikan, ayam, keju, susu, terasi, ikan, rumput laut, tomat, dan masih banyak lagi. Glutaman juga terdapat pada ASI, bahkan dengan jumlah yang relatif tinggi. Jika mengonsumsi ASI, sesungguhnya manusia sudah mengenal cita rasa glutamat sejak awal kehidupannya di dunia,” ungkapnya.
Popularitas MSG sebagai penyedap rasa tak bisa dilepaskan dari jasa Kikunao Ikeda, seorang profesor dari Tokyo Imperial University, Jepang. Ia memperhatikan, kaldu katsuobushi dan kombu ala Jepang memiliki rasa yang tidak biasa, dan pada waktu itu belum mampu dideskripsikan. Cita rasa tersebut berbeda dari manis, asin, asam, maupun pahit.
Pada tahun 1908, Ikeda menemukan bahwa kunci kelezatan tersebut terletak pada penggunaan Laminaria japonica, sejenis rumput laut, yang biasa digunakan sebagai bahan masakan. Rumput laut yang kerap disebut kombu itu mengandung asam glutamat, senyawa kimia pencetus cita rasa gurih (umami). Penemuan cita rasa gurih tersebut melengkapi referensi cita rasa indera pengecapan manusia sebelumnya.
Kenapa dikabarkan berbahaya?
Kabar MSG sebagai pencetus munculnya macam-macam keluhan mulai berhembus sejak tahun 1968. Saat itu, Robert Ho Man Kwok, seorang dokter asal New York, Amerika Serikat, menulis surat kepada New England Journal of Medicine, sebuah jurnal kedokteran; Sekitar 15 hingga 20 menit usai menyantap makanan di restoran Chinese, ia selalu mengalami sindrom “aneh” berupa rasa kaku di belakang leher, rasa terbakar di kedua lengan, perasaan lemah, dan sesak napas. Kwok mengusulkan agar kejadian tersebut diteliti secara ilmiah.
Usulan Kwok disambut antusias oleh para ilmuwan. Dari banyaknya faktor yang ada, mereka mulai meneliti keterlibatan MSG dalam masakan Chinese dan efeknya terhadap kesehatan. Salah satu penemuan pertama yang menggegerkan adalah penelitian John W. Olney, yang dipublikasikan dalam jurnal Science, Mei tahun 1969. Dalam penelitiannya tersebut, Olney menemukan bahwa bayi tikus yang diberi MSG dengan dosis 0,5 hingga 4 gram per kilogram berat badan (setara dengan 30 hingga 200 gram per 60 kilogram) mengalami kerusakan otak. Kejadian itu juga disertai obesitas, gangguan perkembangan tulang belakang, juga gangguan reproduksi.
jadi, sebenarnya aman atau enggak sih?
Salah satu praktisi medis yang menentang keras status aman MSG d adalah Russel Blaylock, MD, ahli bedah saraf asal Amerika Serikat. Dalam bukunya yang berjudul Excitotoxins: The Taste that Kills, Blaylock menyebut MSG sebagai zat kimia yang bersifat merangsang dan dapat mematikan sel-sel otak.
Ia mengakui, secara alamiah glutamat memang terkandung dalam berbagai macam bahan makanan. Bahkan, 50 persen glutamat ditemukan dalam jaringan saraf tubuh kita sendiri, di antaranya otak, saraf tulang belakang, dan ganglia perifer. Namun glutamat jenis ini sangat berbeda dengan glutamat yang ada dalam MSG. Glutamat yang dikonsumsi dalam bentuk aslinya merupakan glutamat yang terikat sebagai protein kompleks. Saluran pencernaan akan menyerapnya secara perlahan-lahan, menguraikannya di hati, lalu mengeluarkan jumlah yang tidak diperlukan tubuh melalui limbah tubuh.
Sementara itu, glutamat dalam MSG sudah dihidrolisa menjadi asam amino bebas yang lebih mudah mudah diserap oleh reseptor glutamat. Tubuh kita selalu menjaga agar konsentrasi glutamat dan zat-zat lain selalu berada dalam batas aman dan seimbang. Saat otak mendeteksi ada kehadiran glutamat dalam jumlah yang berlebih, sel-sel otak akan menerjemahkan kondisi tersebut sebagai alarm bahaya. Kelebihan glutamat yang tidak diperlukan akan mereka tumpas dengan menembakkan impuls-impuls saraf dalam kecepatan tinggi. Jika keadaan ini terus terjadi, sel-sel otak rentan mengalami kelelahan dan mati (eksitotoksin).
Berbeda dengan anggapan bahwa otak dilindungi oleh semacam penghalang yang mampu memblokir masuknya kelebihan glutamat, Blaylock mengatakan bahwa reseptor glutamat justru terdapat pada kedua sisi penghalang tersebut. Konsekuensinya, saat terpapar glutamat, penghalang itu akan membuka. Di situlah letak “bahaya” MSG, terutama bagi otak yang sedang mengalami masa perkembangan.
Semua kembali kepada Anda
Ditambah lagi, penggunaan MSG sekarang ini semakin tidak terukur. Penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengungkap bahwa para tukang bakso di Jakarta menuangkan 1,84 -1,9 g per mangkuk,sementara untuk mie goreng dan mie pangsit bahkan hingga 2,78 mg per mangkuk. Sementara di Semarang penggunaan MSG yang diteliti oleh Nina Wiji dari Universitas Diponegoro pada para pedagang bakso, paling banyak mereka menggunakan 10,35 gr pada tiap mangkuk. Padahal, batas aman atau standar pemakaian MSG hanya 2,55 gram per porsi.
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan RI menegaskan, MSG aman dikonsumsi dengan penggunaan secukupnya, yang tertuang dalam Peraturan Menteri kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88 mengenai bahan tambahan makanan. Batasan ini sama dengan penggunaan garam dan gula dalam masakan.
Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.69/1999, Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia melarang tegas penambahan MSG pada makanan pendamping ASI maupun susu formula untuk menghindari risiko gangguan kesehatan yang mungkin timbul.
Jadi, sebenarnya semua kembali kepada Anda.
“Jika memang sensitif atau alergi terhadap MSG, sebaiknya memang tak perlu mengonsumsi. Kalaupun tidak sensitif dan ingin mengonsumsi, juga tak perlu berlebihan. Lagipula, tubuh kita sudah mampu membatasi secara otomatis melalui reseptor pengecapan yang ada di lidah. Kalau jumlah MSG yang ditambahkan sudah berlebihan, rasanya jadi tidak enak,” tutur Hardinsyah.
Sementara Andang Gunawan ND, ahli terapi nutrisi mengatakan, “Kalau mau lebih aman dan minim risiko, pilihan terbaik memang mengonsumsi glutamat dari bahan makanan sesuai wujud aslinya dari alam. Kita bisa mengoptimalkan cita rasa umami dengan menggunakan bahan-bahan yang berkualitas dan cara memasak yang tepat. Dengan demikian, masakan akan tetap lezat, gurihnya tetap nendang, dan kita tidak perlu risau dengan MSG, apapun statusnya,” pungkas Andang.
sumber http://nirmala.co/index.php?option=com_k2&view=item&id=356&Itemid=5