Kayu Galam berasal dari pohon galam ( Melaleuca cajuputi ) yang tumbuh secara alami di hutan rawa hingga mencapai tinggi 40 m dan diameter sekitar 35 cm. Penyebarannya ada di Myanmar, Thailand, Malaysia, Indonesia, Papua New Guini dan Australia. Kayu galam sangat tahan terhadap tanah asam yang ada pada rawa.
Meski berdiameter kecil namun kayu galam sangat kuat, biasa dipergunakan orang sebagai cerucuk kacapuri, sebagai penyangga cetakan / mal pada pengecoran beton). Bisa juga sebagai bagian sementara pembuatan jembatan kecil, siring jalan, kayu bakar, tiang pancang kecil, tiang bangunan.
Kulit kayunya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengisap nanah pada luka atau dibuat ekstrak untuk mengobati rasa lesu dan susah tidur. Apabila ditambah damar, kulit kayu dapat dimanfaatkan sebagai bahan penambal perahu. Daunnya dapat menghasilkan minyak kayu putih yang dapat digunakan sebagai obat gosok untuk mengobati rematik dan nyeri pada tulang. Buah dan bijinya dikenal sebagai merica bolong dipergunakan orang Jawa dan Bali sebagai bahan jamu untuk mengobati penyakit lambung.
Ada dua jenis galam yang dikenal oleh masyarakat, yaitu galam tembaga dan galam putih. Galam tembaga memiliki kulit kayu yang relatif tipis dengan warna kemerahan (seperti tembaga) sedangkan galam putih memiliki kulit kayu yang relatif tebal dengan warna keputihan. Galam tembaga biasanya tumbuh dilahan tepi sungai, sedangkan galam putih dilahan hutan bagian dalam jauh dari tepi sungai. Bila dimasukkan ke dalam air, kayu galam tembaga cenderung tenggelam, sedangkan kayu galam putih akan terapung.
Kayu galam biasanya diambil dari dalam hutan galam dengan cara menebangnya dengan kapak kemudian dipanggul ke tempat penumpukan. Selanjutnya diangkut dengan perahu jukung ke tempat pengumpulan yang terletak di tepi sungai. Kemudian dibawa lagi ke pangkalan kayu galam atau langsung dijual kepada para pembeli.
Dari segi kelestarian hutan galam, masyarakat khususnya penebang galam tidak khawatir akan kelanjutan hutan galam. Istemewanya kayu galam dapat tumbuh dengan sendirinya di hutan rawa. Dan, ditambah galam selama pertumbuhan tidak memerlukan pemeliharaan intensif. Perilaku para penabang galam juga mendukung kelestarian pohon galam antara lain. Mereka menebang galam sesuai kebutuhan dan tidak menebang galam setiap hari. Mereka meninggalkan anakan dalam setiap penebangan. Pohon galam yang ujungnya berdiameter lebih kecil dari 4 cm tidak boleh ditebang. Pohon yang berdiameter 30 cm ke atas tidak ditebang karena berat memanggulnya sehingga dijadikan sebagai pohon benih. Selain itu pohon galam yang masih berupa anakan dapat dipanen 3-5 tahun kemudian, sehingga kayu galam tidak perlu lama untuk rotasi pertumbuhannya.
Meski kelestarian hutan galam dari segi perilaku penebang dan rotasi tumbuh yang cepat tak perlu dikhawatirkan. Namun jika hutan galam, kelestariannya tidak diperhatikan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan pemerintah, yang dapat mengkonversi hutan galam menjadi kawasan perkebunan tertentu maka lama kelamaan galam akan habis. Sehingga hal ini harus tetap menjadi perhatian kita semua, khususnya pengakuan keberadaan hutan galam.
sumber http://www.pertani-kalimantan.com/artikel/flora-kayu-galam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar